"Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai!"
Lewat bait puisi 'Saya Lebih Suka Dagelan', nama Wiji Thukul hadir pertama kali dalam pemahaman saya tentang sejarah. Dalam sebuah pameran puisinya yang bertempat di Taman Ismail Marzuki, saya dan teman-teman sejawat SMA membawakan total 4 puisi dalam bentuk deklarasi dan musikalisasi di hadapan para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Sepulang dari acara itu, sosok Wiji yang saya ingat adalah penyair cadel, kurus, dan kurang menarik, yang hilang diculik atas nama politik.
Betapa besar kekuatan mereka yang berkuasa, yang menyebut dirinya 'pemerintah'. Bahkan dalam label pemerintahan yang demokratis pun, masih banyak terjadi penyelewengan wewenang untuk kepentingan sendiri. Berangkat dari sini, saya mencoba memahami meski hanya mampu sedikit dari perasaan Wiji Thukul. Kisah-kisah penyelewengan kekuasaan ini menjadi cerita anti-mainstream yang terkadang kurang disenangi masyarakat kebanyakan.
Namun, film "Istirahatlah, Kata-Kata" yang sempat diperkirakan tidak akan ramai didatangi penonton tersebut, mampu meraup 35 ribu penonton layar lebar per 19 Januari 2017. Belum lagi, film ini pasti akan turun ke komunitas-komunitas dan kembali akan meraih jumlah penonton yang lebih banyak lagi. Rupanya sosok Wiji Thukul mulai digemari orang banyak. Mereka, yang walaupun hampir tidak pernah membaca tulisan dan puisi Wiji, mengaku sering melihat posting-an di sosial media mengenainya. Ah, apakah sosok yang menjadi salah satu ikon 'Menolak Lupa' ini akan membawa perbaikan tata pemerintahan?
Setidaknya lewat "Istirahatlah, Kata-Kata', orang menjadi lebih sadar akan kejadian dan keadaan khususnya di Indonesia pada zaman reformasi pada tahun 1998 itu. Walaupun, secara pribadi, saya hampir suka dengan penyajian filmnya. Berarti masih ada ruang kosong yang membuat saya berharap adanya hal lain yang disorot dalam film itu.
Sunyi dan Menyendiri
(sumber: liputan6)
Cerita dimulai ketika aparat menggeledah rumah Wiji. Istrinya, Sipon dan anaknya pasrah melihat perlakuan aparat tanpa mau memberitahu keberadaan Wiji nun jauh di sana. Sedangkan Wiji dikisahkan seperti sosok harimau yang baru saja tanggal gigi-giginya dan putus cakarnya. Ia sendirian, bahkan tak bergeming ketika lampu rumah tiba-tiba mati.Sejengkal pun, ia menolak untuk jalan-jalan keluar bertemu orang lain.
Lucu lagi, ketika ia sudah berani keluar, ia sempat gugup ketika bertemu tentara gagal setengah gila yang menghadangnya di jalan.
Kembali dan Berani
Keberanian Wiji muncul ketika ia mampir ke tukang potong rambut dekat rumah kenalannya di Pontianak. Ia bertemu aparat yang secara kebetulan mengajaknya bicara. Di situ, Wiji bertanya pada dirinya sendiri siapa ia ini. Persis seperti Jean Valjean dalam lagunya 'Who Am I' di kisah Les Miserables yang akhirnya berani kembali ke jati dirinya. Wiji juga bertanya-tanya untuk apa ia mundur dan ketakutan, bahkan sebait puisi pun menjadi sulit akibat rasa takut yang menyelubunginya.
Wiji akhirnya kembali ke sisi Sipon. Kedua insan itu berkasih-kasihan di hotel melati karena takut kepergok. Namun, Wiji akhirnya berani pulang ke rumahnya. Hanya saja Sipon dan dirinya dirundung masalah. Wiji menjauh dan kembali ke Pontianak. Hanya saja, kali ini ia pergi karena tak ingin membawa bahaya untuk istri dan anaknya. Wiji menetap di sana hingga tahun 1998. Wiji kembali menyerang dan menantang pemerintahan menuntut keadilan. Dua bulan sebelum Bapak Presiden saat itu, Bapak Soeharto lengser, Wiji hilang dan tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang.
Mundur dan Terasing
Sosok Wiji yang selalu disebut sebagai pemberani, pemberontak, dan pejuang keadilan, tampil dalam sisi paling lemahnya di film ini. Sang sutradara, Anggi, mungkin ingin menunjukan ketidakberdayaan sosok ini. Bahwa Wiji jugalah manusia biasa yang ketakutan, kita semua bisa saja menjadi Wiji. Tapi di sisi lain, Anggi ingin menunjukan kekuatan pemerintah yang mampu menghadirkan rasa takut sedemikian rupa dalam diri Wiji.
Namun, sayangnya (mungkin karena saya bukan penikmat film sejati, dan masih awam dalam film-film semacam ini), rentang waktu setiap adegan terlalu lama, dan musik sebagai latar filmnya sangat minim. Bagi saya, momen yang dapat diambil supaya penonton dapat memahami perasaan dan keadaan Wiji menjadi terlalu lama. Sehingga muncul kebosanan. Beberapa mungkin bisa saja tertidur di beberapa adegan. Dan beberapa kehilangan fokus cerita.
(sumber: bisniswisata.co.id)
Ia tidak puas dengan ketidakadilan. Tidak mau berlari dan bersembunyi. Ia memilih berjuang sampai sehabis-habisnya.
No comments:
Post a Comment