Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

1.31.2017

Batas Realitas: Sunya dan Nokas

Bersama sutradara film 'Sunya', Mas Harry Dagoe

Jumat, 27 Januari 2017 yang lalu, saya berkesempatan menghadiri sebuah acara diskusi dan pemutaran film di area gedung perkantoran saya, Bentara Budaya Jakarta. Berbekal rasa rindu terhadap sesuatu yang 'nyastra' dan 'nyeni', saya senang-senang saja meskipun hadir seorang diri. Tentunya, saya harus rela mengolah otak sedemikian rupa supaya bisa nyambung berdiskusi dengan para mahasiswa-mahasiswi jurusan perfilman.

Pukul 18.45, film pertama, berjudul Nokas karya Manuel Alberto Maia, mulai diputar. Nokas adalah sebuah film yang mengisahkan sebuah tradisi daerah NTT, Kupang bernama Belis, di mana seorang laki-laki yang ingin menikah wajib memberikan uang mahar untuk 'membeli' mempelai perempuan. Belis pada awalnya adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada kedua orang tua mempelai perempuan sebagai penghargaan karena sudah membesarkan sang gadis. Sayangnya, pada penerapannya, tradisi tersebut bergeser makna menjadi simbol kepemilikan laki-laki terhadap mempelai perempuan. Singkat cerita, Nokas, si tokoh utama, setelah berjuang sedemikian rupa, berhasil melangsungkan pernikahan dengan gadis yang dicintainya.

Berikut review film Nokas dari ruang.gramedia.com : https://ruang.gramedia.com/read/1480485775-nokas-bukan-sekadar-masalah-kas

Diskusi Para Maestro


Dari kiri, Mas Harry Dagoe, Mas Hikmat Darmawan, Mas Damar Ardi.

Setelah usai pemutaran film Nokas, sang moderator acara memanggil para nara sumber untuk berdiskusi mengenai kedua film yang diputar pada malam itu. Co-produser film Nokas, Mas Damar Ardi; pengamat film, Mas Hikmat Darmawan; serta sutrada film Sunya, Mas Harry Dagoe memulai diskusi pada malam itu.

Dalam diskusi kurang lebih 40 menit, Mas Hikmat Darmawan mengangkat besarnya tantangan para pembuat film dokumenter yang mesti mengangkat realitas di masyarakat. Di balik kamera, mampukah para pemeran film hadir sebagai dirinya sendiri yang jujur, bukan sekedar berakting. Teknik sinematografi, seperti pilihan untuk menaruh kamera secara statis atau digerakkan dengan tangan, ternyata juga mempengaruhi 'rasa' dan 'mood' dalam bercerita.

Mas Harry Dagoe, sutradara film Sunya, menceritakan pengalamannya membuat film dokumenter mengenai kehidupan orang-orang Jepang. Menurutnya. teknik kamera yang statis akan lebih sesuai untuk menangkap 'ritme' dan 'budaya' orang-orang Jepang. Sebagai sekedar penikmat cerita-cerita, saya terkagum menyaksikan diskusi para maestro perfilman. Tidak menyangka sulitnya membubuhkan 'rasa' dalam sebuah film baik fiksi atau dokumenter.

Teknik kamera yang ditaruh, statis, atau minim pergerakan, ia terapkan juga ketika membuat film Sunya. Sunya menangkap kehidupan orang-orang Jawa yang dekat dengan perklenikan. Sebagai orang Jawa, saya harus mengakui bahwa film ini dekat dengan realita masyarakat, meskipun modern, masih mengamini adanya hal-hal magis seperti jimat, susuk, dan pesugihan.

Sunya: Batas Realitas


Sunya dimulai dengan percakapan dua orang sahabat, Bedjo dan Rohman, yang menceritakan nenek Bedjo yang sedang sakit, namun rumah sakit tidak mampu menjelaskan keadaan neneknya yang hanya tergolek lemas tidak berdaya. Katanya, nenek Bedjo menyimpan jimat yang membuat pengobatan medis saja tidak dapat menolongnya.

Setelah itu, adegan-adegan berikutnya menceritakan kehidupan Bedjo dari kecil yang dekat dengan hal-hal klenik. Sewaktu kecil, ia tinggal dengan neneknya. Suatu hari setelah jalan-jalan di hutan yang katanya dipenuhi peri, ia melihat neneknya menari di hadapan seorang lelaki dengan kaki mengangkang. Tidak jelas apa yang dilakukannya, beberapa saat kemudian, darah muncrat dari tubuh lelaki itu. Sang nenek masih menari dengan darah berlumuran di wajahnya. Mas Harry Dagoe sepertinya hendak menunjukan keterlibatan si Nenek dalam ritual pesugihan untuk mendapatkan jimat.

Bedjo kecil nampak kaget melihat pemandangan traumatis yang membekas di benaknya. Berhari-hari, Bedjo memikirkan hal tersebut bahkan sampai ia tak bisa fokus ketika belajar di sekolah. Rohman, sahabatnya selalu menghibur dan membantunya.

Di adegan yang terpisah diceritakan bahwa Rohman adalah anak dari kenalan si Nenek yang sekolahnya dipindahkan supaya bisa menemani Bedjo. Seperti itu, Rohman menjadi 'penjaga' Bedjo, melindungi tetapi juga mengambil. Sekali pernah, Rohman memberikan jimat kepada Bedjo sebagai pengganti dirinya ketika Bedjo harus kembali ke kota tempatnya bekerja.

Bedjo dewasa kini terlibat dalam dunia politik. Ia jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Raisa. Berkat usahanya, dan mungkin jimatnya, Bedjo berhasil memikat hati Raisa. Tentulah para kolega menyangka Bedjo menggunakan jimat-jimat untuk dapat menikahi Raisa yang begitu cantik.

Suatu hari, Bedjo membalas pukulan keras salah seorang kolega yang tidak berhenti mengolok-ngoloknya. Dengan sekali pukulan mematikan, ia berhasil membuat lawannya tersungkur di lantai meregang nyawa. Bedjo pulang dengan hati yang lega. Adegan berikut rupanya menunjukan kemampuan jimat yang benar-benar mampu melindungi Bedjo.

Bedjo pulang ke rumahnya dengan bersimbah darah, namun ia menemukan seorang laki-laki telanjang berada di kamar bersama istrinya. Laki-laki tersebut sedang menikmati tubuh Raisa yang juga sedang melenguh keenakan. Bedjo hanya menatap dari ruang tamu dan terkaget ketika laki-laki yang keluar kamar dalam keadaan telanjang itu adalah Rohman, sahabatnya sendiri.

Mungkin, begitulah cara kerja jimat yang memberi dan mengambil.

Kembali ke permasalahan Nenek Bedjo yang masih tergolek lemas. Dalam hati Bedjo tumbuh keinginan kuat untuk menyembuhkan sang Nenek. Masih dengan cara klenik, Bedjo memulai pertapaannya di hutan untuk bertemu dengan seorang kakek yang tinggal di gubug.

Kakek tersebut menawarkan sebuah solusi di mana Bedjo harus kawin lagi dengan orang lain supaya si Nenek bisa sembuh. Perempuan yang dibicarakan tiba-tiba hadir beberapa saat kemudian. Sebuah suara datang dari kejauhan menyapa dirinya dan si kakek tua. Suara perempuan itu berasal dari Nenek Bedjo. Perempuan itulah yang harus dinikahinya.

Mungkin, begitu juga cara kerja perklenikan dan jimat-jimat yang di luar batas realitas.

Seputar Jimat

Sunya adalah salah satu film yang tidak cukup ditonton sekali lalu dipahami. Malangnya, saya hanya mendapat satu kali kesempatan menonton dan akhirnya harus mencari-cari ulasan yang memaparkan lebih dalam mengenai film tersebut. Untung bagi saya, cerpen 'Jimat Sero' karya Eka Kurniawan yang diterbitkan dengan cerita lain dalam buku kumpulan cerpen 'Kumpulan Budak Setan', yang juga menjadi inspirasi Mas Harry Dagoe dalam film Sunya, dapat diakses dengan mudah di internet. Klik tautan berikut untuk membaca cerpen 'Jimat Sero' : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2010/01/30/1651/Jimat-Sero

Setelah menonton film Sunya, barulah kita dapat melihat adanya kemiripan cerita dengan cerita Jimat Sero. Dalam Jimat Sero, tokoh utama juga dekat dengan perklenikan di daerahnya. Ia juga memiliki sahabat yang melindungi dan mengambil miliknya. Hanya dalam Sunya, penekanan cerita justru mengenai hubungan tokoh utama dengan neneknya, yang memulai pesugihan.

Cermin Kehidupan

Dengan alur maju mundur yang agak membingungkan, Sunya dengan sendirinya telah membatasi penikmatnya. Banyak adegan yang tidak bisa dinikmati sambil lalu. Alih-alih santai, Sunya membuat orang pulang dengan kepala panas akibat berpikir. Perlu perhatian ekstra dalam menonton dan mencerna film Sunya, karena banyak detail kecil di beberapa adegan. Tapi, Sunya menjadi menarik karena ide cerita yang diangkat dekat dengan kehidupan masyarakat.

Harry Dagoe juga mengakui adanya pengalaman yang dibawa dalam produksi film. Kebetulan daerah tempat pembuatan film berada di kampung tempatnya bertumbuh semasa kecil. Setelah menonton Sunya, mungkin beberapa dari kita yang hidup di masa modern ini terbawa ke ingatan-ingatan masa lalu. Bahkan sampai detik ini, masyarakat masih suka mencari hal-hal mistis demi mendapatkan yang mereka inginkan.

Yang paling menakutkan dari hal klenik adalah, ia memberi dan mengambil. Ia juga menghalalkan ritual-ritual yang entah bagaimana menghadirkan kesan traumatis. Sunya memberikan cerminan hidup yang kelihatannya masih relevan di tahun 2017 ini.

No comments:

Search