Waktu itu, dalam sebuah pelajaran mandarin di
Taiwan, saya pernah diminta menyiapkan sebuah pidato singkat selama sepuluh
menit tentang budaya Indonesia. Saya pun memilih budaya dari tempat asal orang
tua saya yakni Yogyakarta. Alasan saya memilih kebudayaan Yogyakarta adalah karena
saya lahir di tengah keluarga yang sarat budaya dan sejarah yang berasal dari
sana. Dan saya memilih keraton, tarian, gamelan, dan sedikit
mitos dari Yogyakarta untuk disampaikan kepada teman-teman kelas saya.
Dalam menyampaikan
pidato singkat itu, saya menyadari bahwa banyak dari teman-teman Taiwan yang
begitu antusias mendengarkan penjelasan saya tentang keberadaan Keraton yang
masih ada hingga sekarang. Mereka juga sangat tertarik dengan tarian-tarian
yang begitu anggun dari Yogyakarta. Mitos-mitos kecil tentang ratu pantai
selatan juga membuat mereka penasaran dan ingin segera pergi melancong ke kota
pelajar yang begitu sarat dengan budaya itu.
Hal yang sama
terjadi ketika diadakannya pagelaran tentang budaya Indonesia dalam bentuk
tarian, nyanyian, dan drama di kampus saya. Tidak sedikit orang yang datang
bahkan tertarik dengan beberapa tarian dan alat musik angklung yang sengaja
didatangkan dari Indonesia. Tidak hanya kekaguman, tetapi rasa antusias ingin
mempelajari alat musik itu tampak begitu nyata dalam mata mereka. Melihat
ketertarikan yang begitu besar terhadap budaya sendiri dari mata orang asing
menjadi salah satu alasan saya mengapa saya begitu bangga telah datang dari
Indonesia. Hal itu juga membuat saya sadar bahwa masih kurangnya pengetahuan
saya terhadap budaya sendiri dan pada akhirnya mendorong saya untuk terus
mempelajarinya.
Secara tidak
langsung budaya telah menjadi identitas individu dan identitas bangsa, apalagi
ketika kita melihatnya dari mata orang-orang asing. Ketika kita keluar dari
Indonesia, pertanyaan yang sering diajukan orang adalah pertanyaan tentang dari
mana asal kita dan apa saja yang kita punya di sana. Beberapa dari mereka
beranggapan bahwa hal itu akan menambah pengetahuan mereka. Tentu saja
mengetahui cara berpikir yang tersirat lewat budaya orang lain menjadi
keasyikan tersendiri bagi beberapa orang. Maka
dari itu setiap orang secara tidak langsung telah membawa latar belakang mereka
sendiri di manapun mereka berada.
Hal ini membuat
saya sering bertanya-tanya ketika saya kembali menengok mata-mata beberapa
orang Indonesia yang kurang bahkan tidak mengerti tentang budayanya sendiri.
Dari dalam hati saya menyayangkan adanya 200 juta lebih penduduk Indonesia dari
berbagai suku, namun hanya segelintir orang yang tahu betul tentang budayanya
sendiri. Apa sebenarnya penyebab berkurangnya minat masyarakat akan budayanya
sendiri?
Globalisasi sering
disebut-sebut sebagai sosok yang membawa kabur budaya dan rasa nasionalisme
dari hati orang-orang Indonesia. Ketika globalisasi telah meniadakan
batas-batas negara yang satu dengan yang lainnya, segala macam informasi akan
cepat diakses dan dengan begitu banyak orang yang dengan mudah terpengaruh oleh
kebudayaan luar. Pemuda dan pemudi tanggung juga sering menganggap bahwa budaya
sendiri adalah hal yang ketinggalan zaman dan tidak lagi keren di mata mereka.
Mereka lebih memilih menutup mata dan mengkiblatkan ideologi mereka ke arah
budaya luar yang mungkin lebih menarik. Pada akhirnya, budaya sendiri
ketinggalan jauh di belakang dan kalah bersaing bahkan di dalam negara itu
sendiri.
Namun apakah
globalisasi adalah setan yang begitu jahat dan sepatutnya kita berlari jauh
dari globalisasi dan menutup diri dari pengaruh luar? Jawabannya tentu akan
sangat tidak bijaksana jika kita memilih untuk menutup diri dari luar.
Globalisasi, sama seperti semua hal yang ada di bumi ini, tidak sepenuhnya
jahat. Kunci dari globalisasi tentunya adalah bagaimana masyarakat menyikapinya
tanpa harus menghentikan alirannya.
Salah satu caranya
adalah tentu saja dengan melestarikan budaya sendiri, bahkan memperkenalkannya
kepada masyarakat dunia untuk bisa dinilai dan dikagumi filsafatnya. Tapi apa
memangnya keuntungan dari pelestarian budaya sendiri? Beberapa budaya di dunia
mungkin pernah hilang, apa masalahnya bagi kita jika budaya kita sendiri hilang
dan terkubur?
Pertanyaan yang
sama diajukan beberapa orang ketika saya begitu tertarik dengan bahasa-bahasa
di dunia yang terancam punah. Ketika sebuah bahasa punah, budaya dan ilmu
pengetahuan yang dibawa bahasa itu juga akan punah. Dunia akan semakin
kehilangan warisan budaya dan miskin ilmu pengetahuan.
Hal yang sama
berlaku bagi budaya yang hilang. Kita tahu bahwa budaya dan sejarah berhubungan
erat. Budaya hadir dalam hidup kita bukan tanpa alasan. Terkadang kita perlu
menilik ke sejarah untuk mengetahui tentang arti dan makna budaya bagi
kehidupan kita baik di masa itu maupun sekarang. Para pendahulu kita
mengapresiasikan ajaran-ajaran mulia dan kebijaksanaan melalui kebudayaan yang menjadi warisan
bangsa. Maka ketika kita menelaah lebih dalam, kita akan menemukan budaya yang
sarat dengan ajaran-ajaran mulia.
Seperti contohnya
alat musik angklung. Ketika kita melihatnya sekilas, angklung hanyalah sekedar
alat musik bambu yang ketika dimainkan bersamaan akan mempertunjukan nada-nada
indah yang harmonis. Namun ketika kita melihat melalui mata sejarah, angklung
adalah alat musik yang pada masa itu dimainkan bersama-sama sebagai alat
pemikat Dewi Sri untuk datang ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Dari
sini kita dapat mempelajari adanya harapan di setiap kepercayaan yang dianut
masyarakat. Selain itu lewat angklung kita juga belajar makna dari hidup rukun
berdampingan dengan masyarakat (angklung yang dimainkan bersamaan) dan juga
lingkungan hidupnya (hidup dari tanaman padi). Hal semacam ini tentu saja dapat
membantu kita mengerti Indonesia, bahkan pribadi kita sendiri.
Di tengah maraknya
budaya luar yang mengisi kehidupan kita khususnya pemuda-pemudi, kiranya apa
yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan keberadaan budaya negara sendiri?
Kembali saya melihat hal ini dari kacamata orang asing tentang bagaimana setiap
dari mereka berusaha keras membangun ketertarikan masyarakatnya terhadap budaya
mereka. Saya mempelajari bagaimana orang-orang asing memperkenalkan budayanya
kepada masyarakat.
Salah satu contoh
paling konkret adalah dengan menaruh pelajaran
tentang budaya ke dalam kurikulum sekolah. Tentu saja perlu dibungkus dengan
menarik sehingga para siswa tidak saja berorientasi pada nilai namun pada
pentingnya budaya dalam hidup mereka sehingga mereka akan dengan senang hati
mempelajarinya. Orang Tua pun perlu juga
memperkenalkan budaya kepada anak-anaknya sejak dini, bukan dengan melulu
memperhatikan pendidikan berbasis internasional.
Pagelaran dan
pameran kebudayaan baik di dalam museum atau di luar adalah hal yang marak
dilakukan orang-orang asing khususnya di Taiwan. Beberapa pertunjukan atau
perlombaan tentang budaya juga mampu memotivasi masyarakat untuk lebih peduli
terhadap budayanya sendiri. Yang paling penting adalah kesadaran masyarakat
bahwa budaya memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa, maka dari itu
menjaga kebudayaan sendiri bukan hanya kewajiban tapi mustinya naluri yang
dimiliki setiap individu.
Kembali ke pada
poin awal bahwa sebuah bangsa yang besar akan dihargai di mata dunia ketika
bangsa itu dapat menghargai leluhur dan budayanya. Sebuah negara yang hanya mampu mengekor negara lain dalam berbagai hal dan
tidak mampu berdiri sendiri, tentu tidak akan pernah menjadi besar. Itukah yang
sudah kita tetapkan untuk menjadi takdir Indonesia di masa mendatang? Benarkah
kita rela ketika nanti di masa depan, nama negara kita hanya menjadi mitos
sebuah negara yang tidak mampu mempertahankan kebudayaannya?
No comments:
Post a Comment