Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

10.28.2012

Menilik Budaya dari Mata Orang Asing


Waktu itu, dalam sebuah pelajaran mandarin di Taiwan, saya pernah diminta menyiapkan sebuah pidato singkat selama sepuluh menit tentang budaya Indonesia. Saya pun memilih budaya dari tempat asal orang tua saya yakni Yogyakarta. Alasan saya memilih kebudayaan Yogyakarta adalah karena saya lahir di tengah keluarga yang sarat budaya dan sejarah yang berasal dari sana. Dan saya memilih keraton, tarian, gamelan, dan sedikit mitos dari Yogyakarta untuk disampaikan kepada teman-teman kelas saya.
Dalam menyampaikan pidato singkat itu, saya menyadari bahwa banyak dari teman-teman Taiwan yang begitu antusias mendengarkan penjelasan saya tentang keberadaan Keraton yang masih ada hingga sekarang. Mereka juga sangat tertarik dengan tarian-tarian yang begitu anggun dari Yogyakarta. Mitos-mitos kecil tentang ratu pantai selatan juga membuat mereka penasaran dan ingin segera pergi melancong ke kota pelajar yang begitu sarat dengan budaya itu.
Hal yang sama terjadi ketika diadakannya pagelaran tentang budaya Indonesia dalam bentuk tarian, nyanyian, dan drama di kampus saya. Tidak sedikit orang yang datang bahkan tertarik dengan beberapa tarian dan alat musik angklung yang sengaja didatangkan dari Indonesia. Tidak hanya kekaguman, tetapi rasa antusias ingin mempelajari alat musik itu tampak begitu nyata dalam mata mereka. Melihat ketertarikan yang begitu besar terhadap budaya sendiri dari mata orang asing menjadi salah satu alasan saya mengapa saya begitu bangga telah datang dari Indonesia. Hal itu juga membuat saya sadar bahwa masih kurangnya pengetahuan saya terhadap budaya sendiri dan pada akhirnya mendorong saya untuk terus mempelajarinya.
Secara tidak langsung budaya telah menjadi identitas individu dan identitas bangsa, apalagi ketika kita melihatnya dari mata orang-orang asing. Ketika kita keluar dari Indonesia, pertanyaan yang sering diajukan orang adalah pertanyaan tentang dari mana asal kita dan apa saja yang kita punya di sana. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa hal itu akan menambah pengetahuan mereka. Tentu saja mengetahui cara berpikir yang tersirat lewat budaya orang lain menjadi keasyikan tersendiri bagi beberapa orang. Maka dari itu setiap orang secara tidak langsung telah membawa latar belakang mereka sendiri di manapun mereka berada.
Hal ini membuat saya sering bertanya-tanya ketika saya kembali menengok mata-mata beberapa orang Indonesia yang kurang bahkan tidak mengerti tentang budayanya sendiri. Dari dalam hati saya menyayangkan adanya 200 juta lebih penduduk Indonesia dari berbagai suku, namun hanya segelintir orang yang tahu betul tentang budayanya sendiri. Apa sebenarnya penyebab berkurangnya minat masyarakat akan budayanya sendiri?
Globalisasi sering disebut-sebut sebagai sosok yang membawa kabur budaya dan rasa nasionalisme dari hati orang-orang Indonesia. Ketika globalisasi telah meniadakan batas-batas negara yang satu dengan yang lainnya, segala macam informasi akan cepat diakses dan dengan begitu banyak orang yang dengan mudah terpengaruh oleh kebudayaan luar. Pemuda dan pemudi tanggung juga sering menganggap bahwa budaya sendiri adalah hal yang ketinggalan zaman dan tidak lagi keren di mata mereka. Mereka lebih memilih menutup mata dan mengkiblatkan ideologi mereka ke arah budaya luar yang mungkin lebih menarik. Pada akhirnya, budaya sendiri ketinggalan jauh di belakang dan kalah bersaing bahkan di dalam negara itu sendiri.
Namun apakah globalisasi adalah setan yang begitu jahat dan sepatutnya kita berlari jauh dari globalisasi dan menutup diri dari pengaruh luar? Jawabannya tentu akan sangat tidak bijaksana jika kita memilih untuk menutup diri dari luar. Globalisasi, sama seperti semua hal yang ada di bumi ini, tidak sepenuhnya jahat. Kunci dari globalisasi tentunya adalah bagaimana masyarakat menyikapinya tanpa harus menghentikan alirannya.
Salah satu caranya adalah tentu saja dengan melestarikan budaya sendiri, bahkan memperkenalkannya kepada masyarakat dunia untuk bisa dinilai dan dikagumi filsafatnya. Tapi apa memangnya keuntungan dari pelestarian budaya sendiri? Beberapa budaya di dunia mungkin pernah hilang, apa masalahnya bagi kita jika budaya kita sendiri hilang dan terkubur?
Pertanyaan yang sama diajukan beberapa orang ketika saya begitu tertarik dengan bahasa-bahasa di dunia yang terancam punah. Ketika sebuah bahasa punah, budaya dan ilmu pengetahuan yang dibawa bahasa itu juga akan punah. Dunia akan semakin kehilangan warisan budaya dan miskin ilmu pengetahuan.
Hal yang sama berlaku bagi budaya yang hilang. Kita tahu bahwa budaya dan sejarah berhubungan erat. Budaya hadir dalam hidup kita bukan tanpa alasan. Terkadang kita perlu menilik ke sejarah untuk mengetahui tentang arti dan makna budaya bagi kehidupan kita baik di masa itu maupun sekarang. Para pendahulu kita mengapresiasikan ajaran-ajaran mulia dan kebijaksanaan  melalui kebudayaan yang menjadi warisan bangsa. Maka ketika kita menelaah lebih dalam, kita akan menemukan budaya yang sarat dengan ajaran-ajaran mulia.
Seperti contohnya alat musik angklung. Ketika kita melihatnya sekilas, angklung hanyalah sekedar alat musik bambu yang ketika dimainkan bersamaan akan mempertunjukan nada-nada indah yang harmonis. Namun ketika kita melihat melalui mata sejarah, angklung adalah alat musik yang pada masa itu dimainkan bersama-sama sebagai alat pemikat Dewi Sri untuk datang ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Dari sini kita dapat mempelajari adanya harapan di setiap kepercayaan yang dianut masyarakat. Selain itu lewat angklung kita juga belajar makna dari hidup rukun berdampingan dengan masyarakat (angklung yang dimainkan bersamaan) dan juga lingkungan hidupnya (hidup dari tanaman padi). Hal semacam ini tentu saja dapat membantu kita mengerti Indonesia, bahkan pribadi kita sendiri.
Di tengah maraknya budaya luar yang mengisi kehidupan kita khususnya pemuda-pemudi, kiranya apa yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan keberadaan budaya negara sendiri? Kembali saya melihat hal ini dari kacamata orang asing tentang bagaimana setiap dari mereka berusaha keras membangun ketertarikan masyarakatnya terhadap budaya mereka. Saya mempelajari bagaimana orang-orang asing memperkenalkan budayanya kepada masyarakat.
Salah satu contoh paling konkret adalah dengan menaruh pelajaran tentang budaya ke dalam kurikulum sekolah. Tentu saja perlu dibungkus dengan menarik sehingga para siswa tidak saja berorientasi pada nilai namun pada pentingnya budaya dalam hidup mereka sehingga mereka akan dengan senang hati mempelajarinya. Orang Tua pun perlu juga memperkenalkan budaya kepada anak-anaknya sejak dini, bukan dengan melulu memperhatikan pendidikan berbasis internasional.
Pagelaran dan pameran kebudayaan baik di dalam museum atau di luar adalah hal yang marak dilakukan orang-orang asing khususnya di Taiwan. Beberapa pertunjukan atau perlombaan tentang budaya juga mampu memotivasi masyarakat untuk lebih peduli terhadap budayanya sendiri. Yang paling penting adalah kesadaran masyarakat bahwa budaya memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa, maka dari itu menjaga kebudayaan sendiri bukan hanya kewajiban tapi mustinya naluri yang dimiliki setiap individu.
 Kembali ke pada poin awal bahwa sebuah bangsa yang besar akan dihargai di mata dunia ketika bangsa itu dapat menghargai leluhur dan budayanya. Sebuah negara yang hanya mampu mengekor negara lain dalam berbagai hal dan tidak mampu berdiri sendiri, tentu tidak akan pernah menjadi besar. Itukah yang sudah kita tetapkan untuk menjadi takdir Indonesia di masa mendatang? Benarkah kita rela ketika nanti di masa depan, nama negara kita hanya menjadi mitos sebuah negara yang tidak mampu mempertahankan kebudayaannya?

No comments:

Search