Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

7.21.2014

Demokrasi Hati

pixoto.com

Orang Indonesia itu kreatif. Kekreatifitasan itu membuat segala hal yang sedang hangat di pasaran jadi laku di mata, telinga, bahkan mulut orang Indonesia. Dari cuma kulit manggis yang mempunyai jingle catchy, piala dunia yang tidak dimenangkan oleh Spanyol lagi, sinetron idul fitri yang mempromosikan si kucing cantik dari Jepang, sampai pemilihan presiden yang sebelum diumumkan sudah dimenangkan oleh kedua pihak.

Uniknya, Pemilu yang sempat dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang, kini menjadi hal penting yang harus diperjuangkan bahkan hanya lewat pijitan jempol ke handphone masing-masing. Semua orang berlomba, share berita sana sini diberikan tambahan opini dan kreatifitas masing-masing. Semua orang dari yang kecil hingga nenek yang terbaring di rumah sakit ingin menyuarakan opininya di pesta demokrasi kali ini.

Well, back to the point I have ever written here that 'Democracy could be decisive', I'm glad to some point many people seems to be more well-educated now.

Cukup berbangga hati melihat animo masyarakat yang terlihat 'melek politik'. Apalagi terhadap anak muda yang menyuarakan perubahan. Mungkin mereka bosan terseok-seok di jalan yang sama. Bahkan ketika pemilu 9 juli kemarin, banyak orang-orang yang menyulap handphone mereka untuk menjadi saksi agar tidak terjadi kecurangan. Euphoria, satu kata, terhadap pemilihan presiden 2014 ini cukup membuat saya khususnya bertepuk tangan. Inilah harusnya cara kita memilih presiden di Indonesia yaitu dengan mempelajari lalu yakin.

Awalnya, saya tidak terlalu menaruh hati pada pemilihan ini. Mungkin sama alasannya, bukan tak ingin diedukasi, tapi pernyataan, 'ah paling sama saja' yang lahir dari pandangan skeptis terhadap politik, membuat saya malas mencampuri urusan si satu atau si dua.

Tetapi bermula dari kekreatifitasan orang Indonesia dalam berpendapat membuat saya merasa dicolek ribuan tangan untuk memperhatikan fenomena si satu dan si dua di Indonesia. Pernah saya dibonceng rekan kerja suatu hari, di situ tiba-tiba beliau menanyakan, 'ryn pilih siapa nanti?' Tergagap, saya cuma bisa bilang, 'entahlah, pak. Mungkin si ini.' Saat itu saya hanya 'asal' menjawab, cuma karena tidak ingin ikut2an pilihan orang. -Biasa, kalau anti-mainstream begitulah- Lalu rekan kerja saya inipun menjelaskan seluruh opininya. Sah-sah saja memang. Tapi karena ribuan motor dan mobil yang tidak bisa di-mute, suara beliau jadi samar2.

Sama seperti salah satu teman ayah saya yang setiap kali naik mobil saya, pertanyaan yang diajukan adalah, 'milih sopo, pak entar?' Walah~

Semua berlomba menyuarakan pendapat seakan-akan takut kalau di pasaran harga telinga yang belum tuli ini jadi meninggi karena kehabisan stok. Ah~ sah-sah saja, toh', pendapat itu hasil kerja otak yang diasimilasi dari apa yang dilihat didengar dan dirasa. Jadi saya terus saja memperhatikan gejolak kekreatifitasan dan mulut orang2 yang menyuarakan pendapat. Mencoba menjadi telinga-telinga dan mata yang tersisa.

Lalu tepuk tangan saya mereda setelah menyaksikan maraknya kekreatifitasan menyimpang orang-orang yang entah punya maksud atau hatinya busuk. Black Campaign kata mereka. Saya yang miskin kosa kata, mau tidak mau mempelajari dari contoh apa yang dimaksud Black Campaign. 'Fitnah' mungkin kalau kata sinetron. Kampanye negatif yang dimandikan dengan berita dan fakta yang diputar-putar untuk membangkitkan kebingungan.

Media~ ah lagi-lagi. Kalau bicara tentang politik selalu.. One nation controlled by the media, Green Day once said in their song.

Saya pernah menyimak satu tulisan yang mengatakan kalau media sebenarnya tidak perlu netral, yang penting mereka menyuarakan kebenaran. Nah ini, sudah tidak netral, tidak benar pula. Dulu waktu di Taiwan, saya sempat berbangga hati akan kemampuan jurnalisme orang-orang Indonesia. Mampu menulis, kritis, dan kreatif. Tetapi ketika sudah sampai di prinsip dasar 'memberitakan yang benar' dilanggar. Saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil tetap berdiam memperhatikan.

Kebohongan yang disuarakan oleh media ini kemudian diamini oleh orang-orang. Semua orang yang 'innocent' sampai yang hatinya sudah di tahap memilih menjadi porak-poranda disetir kata-kata dari media. Dimulai dari kebohongan, kebencian pun dilahirkan. Ah~ kekreatifitasan orang Indonesia ditambah mulut-mulut yang haus akan telinga membuat mereka lupa mundur sejenak hanya untuk berdiam dan memperhatikan.

Sulit memang kalau kebencian sudah terlahir. Absolut, tidak ada toleransi terhadap konotasi negatif yang ditimbulkan dari kata ini.

Sayangnya calon presiden kita cuma dua. Jadi ya kalau tidak satu ya dua, kalau tidak dua ya satu. Namanya sudah versus itu biasanya menurunkan derajat 'pemilihan presiden' menjadi pertandingan yang cuma ada kalah dan menang. Kalau tidak menang ya kalah.

Menyedihkan kalau buat saya.

Pemilihan Presiden yang menjadi tujuan pesta demokrasi ini harusnya lebih dari sekedar pertandingan dan ego untuk menang. Karena pesta demokrasi bukan arena tinju berdarah yang hanya satu tangan pemenang yang diangkat. Bukan juga ajang bertaruh seperti piala dunia. Ini bukan kontes. Kemenangan satu pihak bukan menjadi tujuan dari Pemilihan Presiden. Yang terpenting, bukan kemenangan yang dicari. Tetapi sebuah kesepakatan bangsa untuk saling bantu memajukan negerinya.

Itu yang belum saya lihat.

Pesta demokrasi yang indah ini. Orang-orang yang sudah melek politik ini. Mulut-mulut yang berhasil menyuarakan pendapat tanpa ditembak mati ini. Masih perlu dibarengi semangat mengasihi dari hati.

Ternyata demokrasi tidak pernah lengkap tanpa edukasi dan hati yang bersih.


No comments:

Search