Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

10.24.2014

Pikiran Kritis Menggelitik

Akhir-akhir ini tersadar kalau frekuensi menulis saya berkurang drastis jika dibandingan satu tahun lalu di mana waktu luang terlihat sangat membangkitkan selera menulis. Sekarang, sepulang kerja nampaknya saya terlalu letih jika masih harus berpikir ini itu demi menuangkannya ke sebuah tulisan. Rasanya waktu luang itu lebih asyik dihabiskan untuk bersantai mengobrol atau mengistirahatkan tubuh dan pikiran di atas kasur.

Pertanyaannya adalah, kemana perginya pikiran kritis menggelitik yang dulu bersliweran di otak saya? Atau sebenarnya pikiran itu masih tersimpan di sana, menumpuk, lalu terlupakan? Mungkin kebanyakan dari kita sebenarnya terkurung di rutinitas membosankan yang membuat kita mengamini yang sudah ada tanpa mau memperhatikan pikiran kritis menggelitik namun menarik.

Saya rindu menantang tatanan yang sudah rapi dan mencari kebenaran yang nampaknya tidak cuma satu di dunia ini. Seperti pertanyaan menggelitik teman saya ketika makan tadi. 'Itu yang tadi lu share, maksudnya gimana? Emang di sana begitu ya?'

Postingan ini dibuat oleh seorang pengguna facebook bernama Setio Nugroho. 

Pertanyaan itu membawa saya ke kurang lebih satu tahun yang lalu ketika masih numpang hidup di negara orang. Euforia terhadap IKEA yang baru hadir beberapa waktu lalu, sama seperti yang saya rasakan ketika pertama kali diajak ke IKEA, sebuah toko furniture yang didesain unik dan dilengkapi dengan restoran. Hmm, sesuai ukuran kantong mahasiswa, saya datang ke sana hanya untuk mengagumi desain ruangan dan mencicipi sosis IKEA yang luar biasa enaknya. 

Restoran kecil itu dilengkapi dengan 4-5 meja tinggi tanpa kursi. Jadi sehabis kami memesan makanan dan minuman, kami berdiri melingkar di pinggir meja. Setelah selesai makan, sambil melirik-lirik ke kebiasaan orang sana, kami mengumpulkan sampah kami dan membuangnya ke tempat sampah. Meninggalkan meja dengan bersih sehingga dapat dipakai oleh orang setelahnya.

Kebiasaan tersebut nampaknya menunjukan pribadi yang mandiri. Kita datang ke sebuah restoran bukan semata-mata untuk dilayani oleh tukang bersih-bersih atau waitress. Sebuah restoran yang dikunjungi orang-orang lain menunjukan perlunya rasa tanggung jawab dan kemandirian dari pengunjungnya. Mungkin seru juga kalau kita terbiasa untuk memilah dan membuang sendiri sampah dan sisa makanan yang tertinggal di meja. Lagipula, sebuah tempat makan bukannya lebih baik kalau terlihat bersih? 

Saya seratus persen setuju dengan perlunya 'revolusi mental', kosakata yang ramai dipelajari mulut-mulut penduduk Indonesia. Dimulai dengan masalah yang tidak jauh dari kita yaitu sampah. Postingan di atas terlihat sangat benar jika dilihat dari kebiasaan kecil orang Indonesia yang mungkin butuh perubahan.

Tapi uniknya postingan tersebut menuliskan statement yang agaknya menyedihkan, 'Mereknya sih IKEA, kelakuan kita masih Indonesia.' Jika perlu diambil makna tersirat dari kalimat tersebut mungkin, 'mereknya dari luar negeri, kelakuannya masih kampungan' ya kah?

Agak miris mendengar kalimat yang juga sering diucapkan orang kebanyakan, 'Inilah Indonesia.' 'Namanya juga orang Indo.' Begitu senangnya kita membicarakan negara kita dan menyiratkan makna 'kampungan' di setiap ucapannya. hmm.

Kenapa kita agaknya sering mengagung-agungkan negara luar dan merendahkan negara kita? Sesuatu yang begitu indah dan modern bukan perkara milik negara luar. Tapi perkara karakter dan kepribadian yang melewati garis negara dan bangsa. 

Mungkin ini yang disebut perlunya 'revolusi mental' (tanpa sedikitpun ada keinginan mencolek Bapak Presiden Jokowi) sehingga Indonesia tidak perlu lagi memiliki makna 'kampungan' lagi. Tidak perlu memandang rendah bangsanya sendiri, dan yaah, menjadi lebih baik lagi.

Mungkin juga, pikiran kritis menggelitik ini perlu dimasukkan ke 'revolusi mental' supaya kita tidak terus-terusan mengamini rutinitas membosankan dan bergerak dalam kehidupan yang stagnan. ironis.

1 comment:

Claude C Kenni said...

Gua juga sekarang lagi S2 di China ngerasa bahwa frekuensi menulis gua berkurang drastis. Ide banyak, tapi cari waktu dan moodnya itu yg susah. Seharian abis kuliah, sampe kamar pasti pengennya tidur, udah ga semangat nulis lagi, hahaha.

Search