Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

7.03.2018

Ulasan "Cantik Itu Luka": Antara Nafsu dan Kekuasaan

"Aku memenangkan semua perang,
termasuk perang melawanmu."

Sejarah pilu tak melulu dikisahkan dengan sendu, kadang sedikit bumbu gelitik, membuatnya nikmat saat dicerna. Mungkin itu kesimpulan setelah selesai membaca 500 halaman novel "Cantik Itu Luka" karya Eka Kurniawan.

Cantik Itu Luka mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan saat sidang skripsi beberapa tahun lalu, "Kenapa potret penyihir dan jiwa yang jahat selalu dilambangkan sebagai perempuan yang cantik?" Damn, saya nggak tahu!

Sekelumit Kisah Jorok di Tanah Halimunda

Halimunda dalam dunia Eka Kurniawan adalah tempat pelarian putri Pajajaran cantik, Putri Rengganis yang membuat semua orang tak berhenti mengingininya, termasuk ayahnya. Tahu kecantikannya sangat mematikan, ia memilih mengurung diri. Sampai suatu hari, ia memutuskan akan mengawini siapapun yang pertama kali ia lihat dari jendelanya.

Saat itulah, seekor anjing muncul. Setia dengan janjinya, ia pun menikahinya, dan lari ke Halimunda.

Bertahun-tahun lamanya setelah itu, lahirlah Dewi Ayu di tanah yang sama.

Ia, misalnya, tak begitu yakin bahawa hidung bayi itu adalah hidung, 
sebab itu lebih menyerupai colokan listrik, daripada hidung yang dikenalnya sejak kecil. 
Dan mulutnya mengingatkan orang pada lubang celengan babi, 
dan telinganya menyerupai gagang panci. 
....seandainya ia Tuhan, 
tampaknya ia lebih berharap membunuh bayi itu daripada membiarkannya hidup; 
dunia akan menjahatinya tanpa ampun.

Hal: 3-4


Novel ini dimulai dengan kelahiran anak Dewi Ayu yang keempat. Yang paling buruk rupa dan ia beri nama Cantik. Dua belas hari setelah kelahirannya, Dewi Ayu mati di dalam kain kafan yang ia siapkan sendiri. Seperti sedang dalam misi penyelamatan melalui pengorbanan.

Kematian bagi Dewi Ayu tak datang selamanya. Dua puluh satu tahun setelah tragedi bayi mengerikan itu, Dewi Ayu bangkit dari kuburnya, berjalan menuju rumah lamanya menemui si bayi jelek yang kini sudah beranjak dewasa.

Begitu puas tawanya saat melihat bayinya yang keempat tumbuh menjadi wanita buruk rupa seperti yang diidam-idamkannya saat kehamilan. 

Ia telah melahirkan tiga anak perempuan lain sebelumnya, 
semuanya cantik seperti bayi-bayi kembar yang terlambat dilahirkan satu sama lain; 
ia telah bosan dengan bayi-bayi semacam itu...

Hal 6


Anak Haram Jadah

Dewi Ayu, tokoh sentral dalam novel ini, diceritakan sebagai pelacur cantik berdarah Belanda. Ia adalah hasil percintaan saudara kandung beda ibu. Si ayah adalah anak dari Tuan Stammler dan istrinya. Sedangkan si ibu, adalah anak dari Tuan Stammler dan gundiknya, Ma Iyang.

Mak Iyang yang malang, seperti nyai-nyai pada zaman itu, ia mesti rela diperistri bule, dan meninggalkan kekasih hatinya Ma Gedik. Sepasang kekasih itu berjanji akan bertemu lagi setelah 16 tahun untuk kawin lari.

Setelah menunggu selama itu, Ma Iyang sungguh lari dari tuannya dan bertemu Ma Gedik yang sudah setengah gila menunggu kekasihnya. Mereka bertemu sekali, lalu Ma Iyang bunuh diri dengan lompat dari atas bukit.

Dewi Ayu kecil yang kini dibesarkan kakek dan neneknya merasa iba dengan nasib Ma Gedik. Ia pun meminta kakek tua itu menikahinya. Mereka menikah. Namun Ma Gedik mati tanpa pernah menikmati keperawanan Dewi Ayu kecil.

Tiga Cantik yang Malang

Setelah ditinggal seluruh keluarganya. Dewi Ayu menjadi tahanan Jepang. Kecantikannya membawanya menjadi salah satu Jugun Ianfu di pelacuran Mama Kalong. Lagi-lagi, pembawaan Dewi Ayu membuat pembaca tak bisa menangis meratapi nasibnya sebagai pelacur.

"Kecemasan datang dari ketidaktahuan," kata Dewi Ayu.
"Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi atas kita?" tanya Ola.
"Ya," jawabnya. "Jadi pelacur."
Mereka juga tahu, tapi hanya Dewi Ayu yang berani mengatakannya.

Hal 84

Tak hanya uang yang bisa dihasilkannya saat melacur. Ia pun kedapatan tiga kali mengandung bayi tanpa ayah. Ketiga anaknya tumbuh menjadi biduan Halimunda.

Namun, nasib pelacur tidak begitu saja jatuh ke pundak ketiganya. Alih-alih melacur, si sulung lebih suka mempermainkan pria yang jatuh hati padanya. Sampai, akhirnya, dunia laki-laki tak mampu dikalahkannya. 

"Jika kau ingin menaklukkan laki-laki dan mencampakkannya bagai sampah hina,
kau salah bertemu denganku, Alamanda. Aku memenangkan semua perang,
termasuk perang melawanmu."

Hal 224


Berbagai nasib buruk dan kutukan menimpa keluarga Dewi Ayu dan anak-anaknya. Ketiga anaknya yang kebetulan perempuan, masing-masing mesti merasakan "sialnya" terlahir cantik. Begitu pula saat ketiga anak mereka harus beranak lagi. Nasib buruk masih menghantui mereka. 

Tak heran betapa bahagianya Dewi Ayu saat anak keempatnya lahir dalam bentuk serupa gumpalan tai. Ia berharap, nasib buruk berhenti dalam kehidupan mereka.

spoiler

Hantu itu Hidup dari Dendam

Novel ini begitu cantik membangun kesan bahwa kecantikan selalu membuahkan luka, dan sudah sejak dulu begitu adanya. Sangat "lumrah" melihat kecantikan selalu diasosiasikan dengan nasib buruk.

Namun, roh jahat yang bercokol dalam keluarga mereka sebenarnya adalah dendam. Dendam yang timbul dari jahatnya nafsu manusia dan kekuasaan.

Ma Gedik, yang seharusnya jadi istri gundik tuan Belanda, mati membawa dendam. Rohnya tidak rela beristirahat sebelum setiap keturunan dari tuan Stammler yang merenggut kekasihnya merasakan kepedihan yang ia rasakan.

Nasib buruk pun diterima si Cantik, bungsu yang buruk rupa. Ia hamil oleh sosok berupa bayangan, yang ternyata adalah Krisan (keponakannya sendiri).


"Kenapa kau menginginkan aku?
"Mencintai seorang perempuan buruk rupa?"
"Ya."
"Kenapa?"
.
.
"Sebab cantik itu luka."

Hal 505

Kebangkitan ibu, 21 tahun setelah kematiannya, bak penyelamat seperti Tuhan Yesus, mengungkap bahwa kutukan mereka bukan terletak dalam kecantikan. Namun dendam terhadap nafsu liar orang-orang yang berkuasa. Ma Gedik.

Ibunya pun menghancurkan roh dendam Ma Gedik dan menuntaskan kutukannya.

spoiler ends

Tentang Seks dan Kekuasaan

Jika bisa disederhanakan, Cantik itu Luka menggarisbawahi dua hal yaitu penggambaran kekuasaan dan seks. Dan entah kenapa, keduanya mempunyai hubungan yang erat.

Kisah seronok tentang seks begitu mudah dilihat dalam buku ini. Eka memberikan catatan paling tidak 4 penyimpangan seksual yang kinky. Pertama, Eka menunjukkan hubungan kakak beradik Stammler yang berujung pada kelahiran Dewi Ayu. Kedua, hubungan Alamanda, si sulung, dengan Shodancho yang penuh sadomasokhisme. Perlakuan seks yang kasar dan penuh kekerasan juga ditunjukkan oleh para tentara jepang yang menyambangi rumah pelacuran tempat Dewi Ayu berada. Ketiga, Eka menyinggung perilaku pedofilia lewat pernikahan anak Dewi Ayu yang masih berusia 12 tahun. Keempat, bestiality yang tampak lewat folklor Halimunda yang berasal dari perkawinan putri Rengganis dengan anjing.

Bagi beberapa orang, topik tersebut mungkin terlalu tabu untuk dibahas. Tapi dari segala alternatif sejarah yang penuh dengan suasana magis, cerita seks tersebut adalah salah satu realita di negara ini. Tapi kita terlalu takut mengakuinya.

Sama riilnya dengan potret kekuasaan yang digambarkan Eka Kurniawan. Secara sekilas, novel ini menunjukkan laki-laki yang jatuh di bawah pesona kecantikan perempuan. Laki-laki bisa dibuat tidak berdaya jika sudah bertemu dengan mereka. Hal ini yang melahirkan pikiran bahwa seorang perempuan mempunyai kekuatan "menyihir" laki-laki dengan kecantikannya.

Padahal sebaliknya.

Ketiga menantu Dewi Ayu melambangkan kekuasaan yang berbeda. Yang satu adalah Shodancho, yang menjadi veteran pejuang, melambangkan kekuasaan pemerintah yang ingin menjadi penguasa daerahnya. Begitu juga dengan Maman Gendeng, menantu ketiganya, yang mewakili kekuasaan preman dengan kekuatannya. Yang terakhir adalah Kamerad Kliwon yang menjadi pemimpin komunis di daerah Halimunda. Sama dengan kedua kakak iparnya, Kliwon juga melambangkan kekuasaan di Halimunda.

Ketiganya jatuh dalam pesona anak-anak cantik Dewi Ayu. Namun, sebenarnya, mereka memakai kekuatan kekuasaan mereka untuk menaklukan ketiga perempuan itu. Laki-laki (atau paling tidak manusia pada umumnya) begitu gila pada kekuasaan, dan tidak ingin begitu saja dikalahkan oleh kekuatan 'sihir' dari kecantikan wanita.

Kekerasan dan kebencian pada perempuan bersumber dari keinginan laki-laki/manusia untuk menunjukkan kekuasaannya.

Kebencian Terhadap Perempuan

Mari kembali sedikit pada sebuah tugas akhir saya semasa kuliah. Pertanyaan dosen penguji saya, "Kenapa potret penyihir dan jiwa yang jahat selalu dilambangkan sebagai perempuan yang cantik?" Jawabannya adalah misogini.

Adanya kebencian terhadap perempuan lahir dari pemikiran "saya harus menunjukkan kekuasaan saya dan mengalahkan 'sihir' jahat yang menguasai nafsu saya." Nafsu dan kekuasaan adalah kombinasi yang tepat jika ingin membuat dunia menjadi timpang sebelah dan tidak setara.

Eka Kurniawan secara gamblang ikut menunjukkan bahwa kecantikan bukan kutukan yang muncul begitu saja. Kutukan itu muncul dari dendam hantu yang diperlakukan tidak adil akibat nafsu dan kekuasaan Tuan Stammler. 

No comments:

Search