Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.
(Lukas 10:42)Menjadi Pelayan di Usia Muda
Saya dibaptis ketika masih sangat kecil, bahkan mungkin belum mampu melihat dengan jelas. Mungkin saya hanya merasakan guyuran air, lalu menangis karena dingin. Tapi, kehadiran Tuhan? Bayi sekecil saya waktu itu, hanya tahu menangis saat tidak merasa nyaman.
Saya tumbuh di keluarga Katolik yang cukup kuat. Banyak kegiatan rohani yang sudah saya ikuti tanpa sedikitpun pertanyaan dan keragu-raguan. Di usia yang cukup belia, saya menjadi pelayan altar, dan melayani umat yang hadir untuk berdoa. Menjadi pelayan Pastor yang bertugas tanpa pertanyaan, untuk apa saya melakukan ini?
Kehidupan rohani tanpa pertanyaan saya amini begitu saja. Kehidupan rohani sekeluarga saya ikuti. Tuhan itu ada. Saya percaya. Sampai saya menjadi mandiri di usia 18 tahun, ketika saya keluar rumah.
Menjadi Agnostik
Saya melabeli diri dengan agnostik di usia 18 karena saya ragu akan keberadaan Tuhan. Sesuatu yang tak bisa disentuh, dibuktikan, dirasakan. Di mana Tuhan? Apa itu Tuhan? Saya memilih jalur bahwa Tuhan bisa ada, bisa juga tidak ada.
Sampai saya sadar, bahwa manusia membutuhkan yang transenden, karena manusia begitu terbatas, begitu out of control terhadap dunia yang didiaminya. Kepercayaan pada yang transenden, yang mungkin ada mungkin tidak ada, membuat manusia menjadi lebih tenang, bahwa ada "sesuatu" yang mengatur, dan saya hanya tinggal percaya, saya di jalur yang benar jika saya berbuat benar.
Menyadari bahwa saya sebegitu helpless-nya tanpa punya pegangan. Seperti roh yang melayang-layang tanpa tujuan. Yang transenden, membantu saya memaknai keberadaan roh.
Menjadi Manusia yang Terbatas
Saya mengalami perjalanan iman lewat pikiran saya. Lewat sebuah mata kuliah logika semasa kuliah.
Dosen pada waktu itu memberi kami pertanyaan, "Bayangkan hutan tanpa ada satupun manusia sebagai penghuninya. Bayangkan sebuah pohon dengan kayu yang besar tumbang di tengah hutan. Apakah ada suara yang muncul?"
Menarik, jawabannya waktu itu adalah, tidak ada suara yang muncul. Kenapa? Karena suara adalah gelombang yang ditangkap oleh telinga, jika tidak ada telinga, maka suara pun tidak akan ada.
Maka bagi orang tuli, suara itu tidak ada, tidak nyata.
Tapi, benarkah?
Saya, di usia 21 tahun bergumul dengan pikiran saya akan keberadaan Tuhan. Saya sempat menolak ke gereja, menolak berdoa. Buat saya, Tuhan bisa ada bisa tidak, buat apa saya repot-repot berdoa. Masalah ya masalah. Kenapa berdoa malah jadi solusi sebuah masalah?
Lalu, tiba-tiba saya menyadari keterbatasan manusia yang hanya punya 5 indra, yang begitu kecil, dan tak mungkin mampu mengatur semuanya. Dan rasa pasrah pada yang transenden ini, membuat saya memilih kembali kepercayaan agama Katolik sebagai pegangan saya.
Menjadi Marta saat Tuhan Datang
Bayangkan kamu adalah seorang tuan rumah yang kedatangan tamu besar. Apa yang kamu lakukan? Kamu akan menjadi pelayan yang menyiapkan segalanya, agar tidak sedikitpun tamu-tamumu merasa kekurangan. Kamu akan sibuk di dapur, di meja makan, di ruang tamu, menyapu, memasak, dan membersihkan setiap jengkal rumah, agar tamu-tamumu merasa dilayani dengan baik.
Marta adalah tuan rumah yang baik. Saat Tuhan datang ke rumahnya, Marta memilih menjadi pelayan, melayani Tuhan dengan sepenuh hati, menyediakan makan dan tempat dengan sungguh-sungguh.
Saya adalah pelayan, sejak kecil, dan sekarang. Saya menikahi seorang pelayan Tuhan di gerejanya bertugas. Saya meneladani ketulusannya dalam melayani, mencintai tugas pelayanannya, dan kesetiaannya dalam tugas. Saya meneladani hatinya dalam setiap pelayanan yang saya jalani. Menyempatkan waktu untuk Tuhan dalam pelayanan. Menyediakan yang terbaik saat Tuhan datang.
Sampai saya kelelahan. Lalu merindukan yang transenden.
Sebuah perikop yang tiba-tiba menggelitik adalah keberadaan Maria, saudara Marta yang bersimpuh di kaki Tuhan, mendengarkan-Nya bicara.
Perlukah kita marah pada orang-orang yang memilih berdoa, bersimpuh di kaki Tuhan, dan mendengarkan-Nya bicara?
Menjadi Maria di Dekat Kaki Tuhan
Maria memilih tempat terbaik, dan tempat itu tidak akan diambil dari padanya. Tuhan ingin kita tahu bahwa pelayanan kita bukanlah satu-satunya perbuatan benar saat kita mendeklarasikan rasa cinta kita pada Tuhan. Tuhan ingin kita tahu, bahwa kita perlu juga menjadi Maria, bersimpuh dekat dengan Tuhan.
Di situ saya menyadari bahwa pelayanan meningkatkan kualitas hubungan dengan sesama, namun jika kita sibuk melayani, kita lupa dengan hubungan pribadi dengan Tuhan. Bukannya kita disibukan dengan administrasi dan tumpukan dokumen yang harus dikerjakan atas nama pelayanan, sampai lupa, kenapa kita melayani?
Bukankah kita ini manusia yang kecil, yang bergantung pada iman, dan hanya berpegang pada kepercayaan kita pada Tuhan? Lalu kenapa kita hanya disibukan dengan pelayanan.
Jangan lupakan Maria yang bersimpuh dan mencoba memahami Tuhan lewat kata-kata-Nya. Kita tidak perlu terus menjadi Marta yang sibuk dalam pelayanan, sampai lupa esensi hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Jangan sampai pelayananmu menjadi distraksi yang esensi.
Gereja adalah tempat Maria dan Marta. Dan kita tidak bisa terus-terus menjadi salah satunya.