Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

8.11.2019

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan


Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya. 
(Lukas 10:42)
Menjadi Pelayan di Usia Muda

Saya dibaptis ketika masih sangat kecil, bahkan mungkin belum mampu melihat dengan jelas. Mungkin saya hanya merasakan guyuran air, lalu menangis karena dingin. Tapi, kehadiran Tuhan? Bayi sekecil saya waktu itu, hanya tahu menangis saat tidak merasa nyaman.

Saya tumbuh di keluarga Katolik yang cukup kuat. Banyak kegiatan rohani yang sudah saya ikuti tanpa sedikitpun pertanyaan dan keragu-raguan. Di usia yang cukup belia, saya menjadi pelayan altar, dan melayani umat yang hadir untuk berdoa. Menjadi pelayan Pastor yang bertugas tanpa pertanyaan, untuk apa saya melakukan ini?

Kehidupan rohani tanpa pertanyaan saya amini begitu saja. Kehidupan rohani sekeluarga saya ikuti. Tuhan itu ada. Saya percaya. Sampai saya menjadi mandiri di usia 18 tahun, ketika saya keluar rumah.



Menjadi Agnostik

Saya melabeli diri dengan agnostik di usia 18 karena saya ragu akan keberadaan Tuhan. Sesuatu yang tak bisa disentuh, dibuktikan, dirasakan. Di mana Tuhan? Apa itu Tuhan? Saya memilih jalur bahwa Tuhan bisa ada, bisa juga tidak ada.

Sampai saya sadar, bahwa manusia membutuhkan yang transenden, karena manusia begitu terbatas, begitu out of control terhadap dunia yang didiaminya. Kepercayaan pada yang transenden, yang mungkin ada mungkin tidak ada, membuat manusia menjadi lebih tenang, bahwa ada "sesuatu" yang mengatur, dan saya hanya tinggal percaya, saya di jalur yang benar jika saya berbuat benar.

Menyadari bahwa saya sebegitu helpless-nya tanpa punya pegangan. Seperti roh yang melayang-layang tanpa tujuan. Yang transenden, membantu saya memaknai keberadaan roh.



Menjadi Manusia yang Terbatas

Saya mengalami perjalanan iman lewat pikiran saya. Lewat sebuah mata kuliah logika semasa kuliah.

Dosen pada waktu itu memberi kami pertanyaan, "Bayangkan hutan tanpa ada satupun manusia sebagai penghuninya. Bayangkan sebuah pohon dengan kayu yang besar tumbang di tengah hutan. Apakah ada suara yang muncul?"

Menarik, jawabannya waktu itu adalah, tidak ada suara yang muncul. Kenapa? Karena suara adalah gelombang yang ditangkap oleh telinga, jika tidak ada telinga, maka suara pun tidak akan ada.

Maka bagi orang tuli, suara itu tidak ada, tidak nyata.

Tapi, benarkah?

Saya, di usia 21 tahun bergumul dengan pikiran saya akan keberadaan Tuhan. Saya sempat menolak ke gereja, menolak berdoa. Buat saya, Tuhan bisa ada bisa tidak, buat apa saya repot-repot berdoa. Masalah ya masalah. Kenapa berdoa malah jadi solusi sebuah masalah?

Lalu, tiba-tiba saya menyadari keterbatasan manusia yang hanya punya 5 indra, yang begitu kecil, dan tak mungkin mampu mengatur semuanya. Dan rasa pasrah pada yang transenden ini, membuat saya memilih kembali kepercayaan agama Katolik sebagai pegangan saya.



Menjadi Marta saat Tuhan Datang

Bayangkan kamu adalah seorang tuan rumah yang kedatangan tamu besar. Apa yang kamu lakukan? Kamu akan menjadi pelayan yang menyiapkan segalanya, agar tidak sedikitpun tamu-tamumu merasa kekurangan. Kamu akan sibuk di dapur, di meja makan, di ruang tamu, menyapu, memasak, dan membersihkan setiap jengkal rumah, agar tamu-tamumu merasa dilayani dengan baik.

Marta adalah tuan rumah yang baik. Saat Tuhan datang ke rumahnya, Marta memilih menjadi pelayan, melayani Tuhan dengan sepenuh hati, menyediakan makan dan tempat dengan sungguh-sungguh.

Saya adalah pelayan, sejak kecil, dan sekarang. Saya menikahi seorang pelayan Tuhan di gerejanya bertugas. Saya meneladani ketulusannya dalam melayani, mencintai tugas pelayanannya, dan kesetiaannya dalam tugas. Saya meneladani hatinya dalam setiap pelayanan yang saya jalani. Menyempatkan waktu untuk Tuhan dalam pelayanan. Menyediakan yang terbaik saat Tuhan datang.

Sampai saya kelelahan. Lalu merindukan yang transenden.

Sebuah perikop yang tiba-tiba menggelitik adalah keberadaan Maria, saudara Marta yang bersimpuh di kaki Tuhan, mendengarkan-Nya bicara.

Perlukah kita marah pada orang-orang yang memilih berdoa, bersimpuh di kaki Tuhan, dan mendengarkan-Nya bicara?


Menjadi Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria memilih tempat terbaik, dan tempat itu tidak akan diambil dari padanya. Tuhan ingin kita tahu bahwa pelayanan kita bukanlah satu-satunya perbuatan benar saat kita mendeklarasikan rasa cinta kita pada Tuhan. Tuhan ingin kita tahu, bahwa kita perlu juga menjadi Maria, bersimpuh dekat dengan Tuhan.

Di situ saya menyadari bahwa pelayanan meningkatkan kualitas hubungan dengan sesama, namun jika kita sibuk melayani, kita lupa dengan hubungan pribadi dengan Tuhan. Bukannya kita disibukan dengan administrasi dan tumpukan dokumen yang harus dikerjakan atas nama pelayanan, sampai lupa, kenapa kita melayani?

Bukankah kita ini manusia yang kecil, yang bergantung pada iman, dan hanya berpegang pada kepercayaan kita pada Tuhan? Lalu kenapa kita hanya disibukan dengan pelayanan.

Jangan lupakan Maria yang bersimpuh dan mencoba memahami Tuhan lewat kata-kata-Nya. Kita tidak perlu terus menjadi Marta yang sibuk dalam pelayanan, sampai lupa esensi hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Jangan sampai pelayananmu menjadi distraksi yang esensi.

Gereja adalah tempat Maria dan Marta. Dan kita tidak bisa terus-terus menjadi salah satunya.

7.03.2018

Ulasan "Cantik Itu Luka": Antara Nafsu dan Kekuasaan

"Aku memenangkan semua perang,
termasuk perang melawanmu."

Sejarah pilu tak melulu dikisahkan dengan sendu, kadang sedikit bumbu gelitik, membuatnya nikmat saat dicerna. Mungkin itu kesimpulan setelah selesai membaca 500 halaman novel "Cantik Itu Luka" karya Eka Kurniawan.

Cantik Itu Luka mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan saat sidang skripsi beberapa tahun lalu, "Kenapa potret penyihir dan jiwa yang jahat selalu dilambangkan sebagai perempuan yang cantik?" Damn, saya nggak tahu!

Sekelumit Kisah Jorok di Tanah Halimunda

Halimunda dalam dunia Eka Kurniawan adalah tempat pelarian putri Pajajaran cantik, Putri Rengganis yang membuat semua orang tak berhenti mengingininya, termasuk ayahnya. Tahu kecantikannya sangat mematikan, ia memilih mengurung diri. Sampai suatu hari, ia memutuskan akan mengawini siapapun yang pertama kali ia lihat dari jendelanya.

Saat itulah, seekor anjing muncul. Setia dengan janjinya, ia pun menikahinya, dan lari ke Halimunda.

Bertahun-tahun lamanya setelah itu, lahirlah Dewi Ayu di tanah yang sama.

Ia, misalnya, tak begitu yakin bahawa hidung bayi itu adalah hidung, 
sebab itu lebih menyerupai colokan listrik, daripada hidung yang dikenalnya sejak kecil. 
Dan mulutnya mengingatkan orang pada lubang celengan babi, 
dan telinganya menyerupai gagang panci. 
....seandainya ia Tuhan, 
tampaknya ia lebih berharap membunuh bayi itu daripada membiarkannya hidup; 
dunia akan menjahatinya tanpa ampun.

Hal: 3-4


Novel ini dimulai dengan kelahiran anak Dewi Ayu yang keempat. Yang paling buruk rupa dan ia beri nama Cantik. Dua belas hari setelah kelahirannya, Dewi Ayu mati di dalam kain kafan yang ia siapkan sendiri. Seperti sedang dalam misi penyelamatan melalui pengorbanan.

Kematian bagi Dewi Ayu tak datang selamanya. Dua puluh satu tahun setelah tragedi bayi mengerikan itu, Dewi Ayu bangkit dari kuburnya, berjalan menuju rumah lamanya menemui si bayi jelek yang kini sudah beranjak dewasa.

Begitu puas tawanya saat melihat bayinya yang keempat tumbuh menjadi wanita buruk rupa seperti yang diidam-idamkannya saat kehamilan. 

Ia telah melahirkan tiga anak perempuan lain sebelumnya, 
semuanya cantik seperti bayi-bayi kembar yang terlambat dilahirkan satu sama lain; 
ia telah bosan dengan bayi-bayi semacam itu...

Hal 6


Anak Haram Jadah

Dewi Ayu, tokoh sentral dalam novel ini, diceritakan sebagai pelacur cantik berdarah Belanda. Ia adalah hasil percintaan saudara kandung beda ibu. Si ayah adalah anak dari Tuan Stammler dan istrinya. Sedangkan si ibu, adalah anak dari Tuan Stammler dan gundiknya, Ma Iyang.

Mak Iyang yang malang, seperti nyai-nyai pada zaman itu, ia mesti rela diperistri bule, dan meninggalkan kekasih hatinya Ma Gedik. Sepasang kekasih itu berjanji akan bertemu lagi setelah 16 tahun untuk kawin lari.

Setelah menunggu selama itu, Ma Iyang sungguh lari dari tuannya dan bertemu Ma Gedik yang sudah setengah gila menunggu kekasihnya. Mereka bertemu sekali, lalu Ma Iyang bunuh diri dengan lompat dari atas bukit.

Dewi Ayu kecil yang kini dibesarkan kakek dan neneknya merasa iba dengan nasib Ma Gedik. Ia pun meminta kakek tua itu menikahinya. Mereka menikah. Namun Ma Gedik mati tanpa pernah menikmati keperawanan Dewi Ayu kecil.

Tiga Cantik yang Malang

Setelah ditinggal seluruh keluarganya. Dewi Ayu menjadi tahanan Jepang. Kecantikannya membawanya menjadi salah satu Jugun Ianfu di pelacuran Mama Kalong. Lagi-lagi, pembawaan Dewi Ayu membuat pembaca tak bisa menangis meratapi nasibnya sebagai pelacur.

"Kecemasan datang dari ketidaktahuan," kata Dewi Ayu.
"Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi atas kita?" tanya Ola.
"Ya," jawabnya. "Jadi pelacur."
Mereka juga tahu, tapi hanya Dewi Ayu yang berani mengatakannya.

Hal 84

Tak hanya uang yang bisa dihasilkannya saat melacur. Ia pun kedapatan tiga kali mengandung bayi tanpa ayah. Ketiga anaknya tumbuh menjadi biduan Halimunda.

Namun, nasib pelacur tidak begitu saja jatuh ke pundak ketiganya. Alih-alih melacur, si sulung lebih suka mempermainkan pria yang jatuh hati padanya. Sampai, akhirnya, dunia laki-laki tak mampu dikalahkannya. 

"Jika kau ingin menaklukkan laki-laki dan mencampakkannya bagai sampah hina,
kau salah bertemu denganku, Alamanda. Aku memenangkan semua perang,
termasuk perang melawanmu."

Hal 224


Berbagai nasib buruk dan kutukan menimpa keluarga Dewi Ayu dan anak-anaknya. Ketiga anaknya yang kebetulan perempuan, masing-masing mesti merasakan "sialnya" terlahir cantik. Begitu pula saat ketiga anak mereka harus beranak lagi. Nasib buruk masih menghantui mereka. 

Tak heran betapa bahagianya Dewi Ayu saat anak keempatnya lahir dalam bentuk serupa gumpalan tai. Ia berharap, nasib buruk berhenti dalam kehidupan mereka.

spoiler

Hantu itu Hidup dari Dendam

Novel ini begitu cantik membangun kesan bahwa kecantikan selalu membuahkan luka, dan sudah sejak dulu begitu adanya. Sangat "lumrah" melihat kecantikan selalu diasosiasikan dengan nasib buruk.

Namun, roh jahat yang bercokol dalam keluarga mereka sebenarnya adalah dendam. Dendam yang timbul dari jahatnya nafsu manusia dan kekuasaan.

Ma Gedik, yang seharusnya jadi istri gundik tuan Belanda, mati membawa dendam. Rohnya tidak rela beristirahat sebelum setiap keturunan dari tuan Stammler yang merenggut kekasihnya merasakan kepedihan yang ia rasakan.

Nasib buruk pun diterima si Cantik, bungsu yang buruk rupa. Ia hamil oleh sosok berupa bayangan, yang ternyata adalah Krisan (keponakannya sendiri).


"Kenapa kau menginginkan aku?
"Mencintai seorang perempuan buruk rupa?"
"Ya."
"Kenapa?"
.
.
"Sebab cantik itu luka."

Hal 505

Kebangkitan ibu, 21 tahun setelah kematiannya, bak penyelamat seperti Tuhan Yesus, mengungkap bahwa kutukan mereka bukan terletak dalam kecantikan. Namun dendam terhadap nafsu liar orang-orang yang berkuasa. Ma Gedik.

Ibunya pun menghancurkan roh dendam Ma Gedik dan menuntaskan kutukannya.

spoiler ends

Tentang Seks dan Kekuasaan

Jika bisa disederhanakan, Cantik itu Luka menggarisbawahi dua hal yaitu penggambaran kekuasaan dan seks. Dan entah kenapa, keduanya mempunyai hubungan yang erat.

Kisah seronok tentang seks begitu mudah dilihat dalam buku ini. Eka memberikan catatan paling tidak 4 penyimpangan seksual yang kinky. Pertama, Eka menunjukkan hubungan kakak beradik Stammler yang berujung pada kelahiran Dewi Ayu. Kedua, hubungan Alamanda, si sulung, dengan Shodancho yang penuh sadomasokhisme. Perlakuan seks yang kasar dan penuh kekerasan juga ditunjukkan oleh para tentara jepang yang menyambangi rumah pelacuran tempat Dewi Ayu berada. Ketiga, Eka menyinggung perilaku pedofilia lewat pernikahan anak Dewi Ayu yang masih berusia 12 tahun. Keempat, bestiality yang tampak lewat folklor Halimunda yang berasal dari perkawinan putri Rengganis dengan anjing.

Bagi beberapa orang, topik tersebut mungkin terlalu tabu untuk dibahas. Tapi dari segala alternatif sejarah yang penuh dengan suasana magis, cerita seks tersebut adalah salah satu realita di negara ini. Tapi kita terlalu takut mengakuinya.

Sama riilnya dengan potret kekuasaan yang digambarkan Eka Kurniawan. Secara sekilas, novel ini menunjukkan laki-laki yang jatuh di bawah pesona kecantikan perempuan. Laki-laki bisa dibuat tidak berdaya jika sudah bertemu dengan mereka. Hal ini yang melahirkan pikiran bahwa seorang perempuan mempunyai kekuatan "menyihir" laki-laki dengan kecantikannya.

Padahal sebaliknya.

Ketiga menantu Dewi Ayu melambangkan kekuasaan yang berbeda. Yang satu adalah Shodancho, yang menjadi veteran pejuang, melambangkan kekuasaan pemerintah yang ingin menjadi penguasa daerahnya. Begitu juga dengan Maman Gendeng, menantu ketiganya, yang mewakili kekuasaan preman dengan kekuatannya. Yang terakhir adalah Kamerad Kliwon yang menjadi pemimpin komunis di daerah Halimunda. Sama dengan kedua kakak iparnya, Kliwon juga melambangkan kekuasaan di Halimunda.

Ketiganya jatuh dalam pesona anak-anak cantik Dewi Ayu. Namun, sebenarnya, mereka memakai kekuatan kekuasaan mereka untuk menaklukan ketiga perempuan itu. Laki-laki (atau paling tidak manusia pada umumnya) begitu gila pada kekuasaan, dan tidak ingin begitu saja dikalahkan oleh kekuatan 'sihir' dari kecantikan wanita.

Kekerasan dan kebencian pada perempuan bersumber dari keinginan laki-laki/manusia untuk menunjukkan kekuasaannya.

Kebencian Terhadap Perempuan

Mari kembali sedikit pada sebuah tugas akhir saya semasa kuliah. Pertanyaan dosen penguji saya, "Kenapa potret penyihir dan jiwa yang jahat selalu dilambangkan sebagai perempuan yang cantik?" Jawabannya adalah misogini.

Adanya kebencian terhadap perempuan lahir dari pemikiran "saya harus menunjukkan kekuasaan saya dan mengalahkan 'sihir' jahat yang menguasai nafsu saya." Nafsu dan kekuasaan adalah kombinasi yang tepat jika ingin membuat dunia menjadi timpang sebelah dan tidak setara.

Eka Kurniawan secara gamblang ikut menunjukkan bahwa kecantikan bukan kutukan yang muncul begitu saja. Kutukan itu muncul dari dendam hantu yang diperlakukan tidak adil akibat nafsu dan kekuasaan Tuan Stammler. 

2.03.2018

Ulasan "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas": Otak, Kemaluan, dan Teori Freud

(Source: Isolapos.com)

Dalam teorinya, Sigmund Freud menyatakan alam bawah sadar manusia yang menjadi penentu perilakunya memiliki 3 unsur, ID, Ego, dan Superego. Ego menjadi penengah antara aspek ID (dorongan dan hasrat primordial manusia yang ingin dipuaskan) dan Superego (kesadaran manusia akan nilai dan moral yang ada di masyarakat). Ego menyelesaikan perselisihan antara hasrat memuaskan keinginan dan nilai/moral yang berlaku di masyarakat dengan berbagai mekanisme seperti represi, pengalihan, rasionalisasi, dan sebagainya.

Mudahnya, (ini menurut saya) Ego adalah otak manusia, Superego adalah hati nurani manusia, dan ID adalah kemaluan, yang menjadi otak kedua manusia. Kemaluan yang sering ditabukan ini, rupanya menjadi bagian yang penting dalam perilaku manusia. Seperti Eka Kurniawan berhasil ceritakan dalam novel "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas".

*Spoiler*

"Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati," 
kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.

-"Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas" hal 1

Begitu, Eka Kurniawan memulai paragraf pertama dalam novelnya ini. Ia mengisahkan tentang Ajo Kawir, pemuda yang kemaluan atau 'burungnya' ogah ngaceng sejak ia berusia 12 tahun. Si Tokek, teman dan sahabat dekatnya, sedikit banyak, ikut menjadi penyebab kelainan yang dialami Ajo Kawir. Seperti pemuda pada umumnya yang mungkin belum lama akil balig, selalu penasaran ketika melihat perempuan telanjang yang mampu membuat kemaluannya berdiri.

Didorong keinginan ini, Si Tokek mengajak Ajo Kawir mengintip pemandangan yang baru saja ditemukannya. Ia berpikir, pemandangan ini harus dan wajib dibagi dengan teman seperjuangannya. Saat Ajo Kawir yang saleh dan kadang-kadang nakal ini akhirnya bersedia mengikutinya, ia menganga melihat pemandangan yang ditunjukkan Si Tokek.

Dua orang polisi, dalam puncak rezim yang penuh kekerasan, memerkosa  seorang wanita gila di rumahnya. Polisi itu rutin datang di satu hari dalam setiap minggu untuk memandikan Rona Merah, nama wanita itu, hanya untuk memerkosanya kemudian.

Dengan darah yang berdesir-desir, Ajo Kawir mengintip kegiatan itu dengan was-was. Burungnya sendiri sudah ngaceng karena melihat wanita gila telanjang, belum lagi saat melihat kedua polisi yang sedang menggagahinya. Namun, karena suatu hal, persembunyian Ajo Kawir dan Si Tokek terbongkar. Keduanya tertangkap oleh polisi yang baru setengah 'bekerja'.

Nasib buruk membawa Ajo Kawir dalam sebuah peristiwa di mana ia dipaksa kedua polisi jahat itu untuk ikut memerkosa wanita gila. Entah karena takut, panik, atau keputusan sendiri, 'burung' itu memilih menciut dan tidur selamanya.

Mulai saat itu, kemaluan Ajo Kawir belum pernah bangun lagi.

Tragedi ini yang membuatnya memutuskan menghabisi seseorang pengusaha tambak yang sudah memerkosa Si Janda Muda. Ia bilang, ia tidak pernah suka seorang bajingan jenis begitu. Dalam perjalanannya menemui si pengusaha tambak, ia jatuh cinta setelah sebuah perkelahian mematikan dengan anak buah pengusaha tambak, Iteung.

Segala hal tentang kemaluan yang tidak bisa ngaceng menjadi terlalu rumit saat si pemilik kemaluan jatuh cinta. Apalagi saat Iteung menyatakan cintanya pada Ajo Kawir.

Memikirkan kemaluannya, Ajo Kawir memutuskan untuk menolak Iteung dan terjun dalam dunia perkelahian untuk membalaskan dendam-dendan orang. Ujarnya, ia hanya butuh berkelahi untuk melupakan rindu dan cintanya pada Iteung. Namun, Iteung datang kembali.


Jari-jariku, bisa melakukan apa yang selama bertahun-tahun, dan mungkin bertahun-tahun ke depan, tak bisa dilakukan kemaluanku. Jari-jariku selalu teracung, keras, meskipun tak pernah membesar. Jari-jariku tak akan pernah tertidur.

-hal 101

Iteung yang akhirnya tahu kemaluan Ajo Kawir yang sedang dalam hibernasi, tetap memintanya untuk menikahinya. Ia tidak peduli kalau Ajo Kawir hanya memuaskannya dengan jari-jarinya yang lebih lihai. Kedua sejoli yang saling mencintai itu pun akhirnya menikah dan hidup berdua.

Namun, cerita tidak berhenti di situ. Iteung yang setiap malam terbangun bersimbah keringat dan kemaluannya selalu basah menjadi masalah masa lalu yang muncul dalam pernikahan Ajo Kawir. Suatu hari, Iteung datang menemui suaminya dan memberitahunya bahwa perutnya sedang mengandung seorang anak, yang tidak mungkin adalah anak Ajo Kawir.

Ajo Kawir beringas. Ia menyalahkan Iteung, ia menyalahkan dirinya, ia menyalahkan kemaluannya yang sedang tidur. Ia marah dan menghabisi orang tua yang sudah lama berhenti dari dunia perkelahiannya. Akibatnya, Ajo Kawir dijebloskan ke dalam penjara.

Iteung terduduk di lantai kamar mandi. Bayangan burung hitam milik pak guru itu terus bermain di kepalanya. Otot di ujung rahimnya berdenyut-denyut. 
Aku menginginkan burung hitam itu. Sialan, aku menginginkan burung hitam jelek itu.
Itu perkelahian yang tak bisa dimenangkannya.

-hal 173

Di lain kisah, Iteung diceritakan pernah menjadi gadis kecil yang secara seksual dilecehkan oleh gurunya. Iteung muda sering diminta gurunya untuk membersihkan kelas dan membantunya. Rupanya, si guru selalu memintanya tinggal untuk kemudian mengerjainya. Iteung muda yang benci situasi itu kemudian memilih mengikuti pelajaran bela diri untuk melindungi kemaluannya yang sudah berulang kali digagahi 'burung' pak guru.

Dendamnya telah dibayar tuntas saat ia akhirnya mengalahkan gurunya yang bajingan. Namun, ada hasrat yang tak pernah terbayar kala kemaluan suaminya tidak bisa bangun. Budi Baik, salah satu teman seperguruannya, yang pernah begitu mencintainya datang di saat ia tidak mampu mengalahkan hasrat kemaluannya. Hari itu, benih Budi Baik tertanam di rahim Iteung.

"Kamu belajar apa dari si Burung Kuntul?"
"Hidup dalam kesunyian. Tanpa kekerasan, tanpa kebencian. Aku berhenti berkelahi untuk apa pun. Aku mendengarkan apa yang diajarkan Si Burung."

-hal 123

Bagian ini menunjukkan Ajo Kawir yang baru saja keluar dari penjara dan menjadi pengemudi truk lintas Sumatera-Jawa. Ajo Kawir pensiun dari dunia perkelahian karena mulai mendengarkan si burung yang rupanya ingin ia menempuh jalan diam. Ajo Kawir mengalami proses pendewasaan setelah bertahun-tahun hibernasi burungnya hanya membawa kekacauan dalam hidupnya. Di dalam proses pendewasaan ini, ia bertemu seorang bocah yang menjadi keneknya bernama Mono Ompong.

Eka kembali menceritakan Mono Ompong yang membalaskan dendam pribadinya pada supir truk lainnya yang sering menggesekkan kemaluannya pada punggung si bocah. Mono Ompong menerima tantangan si pengemudi truk bajingan bernama Si Kumbang dalam sebuah adu perkelahian. Mono Ompong menang, meski ia harus menginap lama di rumah sakit.

Suatu hari, Ajo Kawir bertemu dengan Jelita, wanita buruk rupa yang tiba-tiba berada di dalam truknya. Setelah Mono Ompong tak bisa menemaninya dalam perjalanannya, Jelita lah yang duduk di sebelahnya saat ia menempuh perjalanan Sumatera-Jawa. Sejak bertemu Jelita, Ajo Kawir sering mengalami mimpi basah. Tak jarang, mimpinya selalu tentang dirinya yang berhubungan dengan Jelita.

Ajo Kawir mulai merindukan Iteung yang sedang mendekam di penjara karena telah membunuh Budi Baik, ayah dari anaknya. Dalam kerinduannya dan pengalaman baru si burung yang sering mimpi basah. Ia bermimpi berhubungan badan dengan Jelita, kemaluannya bangun dari tidur panjangnya karena Jelita, wanita yang mengingatkannya pada Rona Merah, wanita gila yang hadir saat ia mengalami trauma masa kecilnya. Jelita hilang keesokan harinya.

Dengan hasrat menggebu, Ajo Kawir ingin menemui Iteung yang akan keluar dari penjara. Iteung yang masih menyimpan dendam suaminya, memutuskan mengejar kedua polisi yang sudah menyebabkan kemaluan suaminya tidur panjang. Ia membayar tuntas dendam dan trauma suaminya dengan menghabisi nyawa dua polisi itu.

Iteung kembali mendekam di dalam penjara. Sementara, si burung secara ajaib bangun dan membesar. Mau tidak mau, Ajo Kawir kembali menunggu sampai Iteung keluar dari penjara.

*Spoiler Selesai*

"Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. 
Manusia hanya menjalaninya saja."

-hal 189


Eka menuturkan seluruh pengalaman orang-orang yang kehidupannya digerakkan oleh hasrat yang muncul dari perkara kemaluan. Ia bermain dengan kemaluan para tokoh-tokoh dan latar belakang mereka. Dimulai dari para polisi yang merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan, lalu memerkosa si wanita gila. Keinginan kemaluan juga yang membawa Ajo Kawir dan Si Tokek mengintip kegiatan perkosaan yang mampu membuat burungnya bangun.

Meski sudah tertidur pun, kemaluan Ajo Kawir masih membawa masalah. Ia memilih menempuh jalan kekerasan dan perkelahian karena ketidakmampuan membuat kemaluannya bangun. 

Beberapa kisah lain tentang Iteung dan Mono Ompong juga menunjukkan masalah otak manusia yang menjalani keinginan kemaluannya. Tak jarang, mereka yang kalah dalam perkelahiannya dengan hasrat seksualnya, menemui masalah.

Seperti Freud katakan, Ego yang lebih banyak dikuasai ID menyebabkan manusia itu menderita psikoneurosis atau kelainan jiwa. 

Eka Kurniawan mempertontonkan kelainan Ajo Kawir yang menjadi momok para laki-laki, sebagai jalan yang paling bijaksana. Impotensi Ajo Kawir justru membuatnya paling bijak di antara tokoh-tokoh lain yang hanya didorong keinginan seksualnya. Si Burung yang tidur, malah mengajaknya untuk menempuh jalan Mahaguru yang hidup dalam kesunyian dan menjauh dari kekerasan.

Berbeda dengan kita yang memiliki kemaluan yang masih berfungsi normal, terkadang malah terjeblos dalam perilaku yang didorong nafsu. Memang betul, kemaluan menjadi otak kedua manusia yang tak jarang membawa manusia itu menempuh jalan-jalan yang tidak sesuai norma dan nilai, yang pada akhirnya diaminkan oleh Ego yang mencari pembenaran.

Jadi, kalau lain waktu, kita mencari pembenaran akan kesalahan yang didorong oleh hasrat otak kedua kita yang terletak di kemaluan, mungkin sudah saatnya kita mengingat kebijaksanaan Si Burung Ajo Kawir yang tertidur.

Search