Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

1.10.2018

Ulasan "Laut Bercerita": Harga Sebuah Kebebasan




Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila Chudori
No ISBN: 9786024246945
Penerbit: KPG
Tanggal Terbit: Desember 2017

"Gelap adalah bagian dari alam," kata Sang Penyair. 
Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. 
Kelam adalah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi.

Aku tak tahu, apakah saat ini aku sedang mengalami kegelapan. Atau kekelaman.

-Laut Bercerita, hal 2

Biru Laut menceritakan akhir hidupnya di paragraf awal pembuka buku "Laut Bercerita". Saat itu, matanya dibebat dan tangannya diborgol. Darah di bibirnya sudah basah dan mengering berulang kali akibat penyiksaan yang terus dialaminya selama berada di dalam Kuil Penyiksaan Orde Baru. Tanpa pernah tahu di mana dan kenapa ia harus mati saat itu, ia jatuh ke dalam laut dan bersatu dengan ikan-ikan yang berenang di sisinya. Kakinya yang diberi pemberat membuatnya tenggelam dan menyatu dengan air asin laut.

Betapa ia ingin berteriak dan menceritakan kisahnya. Namun, ia hanya berharap debur ombak dapat menjadi titik-titik kode morse yang mengantar pesan kepada kekasihnya Anjani, adiknya Asmara Jati, serta kedua orang tuanya yang hampir kehilangan kewarasan dalam perjuangan mencari keberadaannya. 

Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali...

-Soetardji Calzoum Bachri

Kalau dalam novel pertamanya, Pulang, Leila berhasil membuat saya meneteskan air mata berulang kali saat melahap lembar demi lembarnya di atas kereta Commuter Line, novel kedua yang baru saja terbit Oktober 2017 yang lalu, mampu membuat saya sesenggukan di TransJakarta, sampai harus menutup buku dan mencari pengalih perhatian untuk membendung tangisan saya.

"Laut Bercerita" memberikan gambaran yang gamblang tentang kehidupan aktivis yang melawan pemerintahan diktator dan ketidakadilan yang terjadi selama hampir 30 tahun. Para aktivis yang terdiri dari para mahasiswa ini sering mendiskusikan berbagai aksi melawan ketidakadilan yang terjadi di negara lain. Terinspirasi dari keberanian serta rasa tidak nyaman saat melihat ketidakadilan membuat para aktivis ini memilih untuk melawan.

Para aktivis yang melawan dengan pikiran, kata-kata, serta aksi menanam jagung ternyata hanya bisa dijatuhkan dengan siksaan tubuh yang luar biasa jahat. Mereka ditangkap setelah berulang kali diintai oleh para intel pemerintah yang mengejarnya ke mana-mana. Mereka dituduh telah berdiskusi dengan para tokoh-tokoh terkenal untuk menggulingkan pemerintahan absolut yang belum pernah memberikan rakyatnya kebebasan untuk berpendapat dan memilih pemimpinnya.

Demi sebuah jabatan dan keberlangsungan hidup, atau mungkin rasa takut, mereka memilih membungkam para aktivis dengan menghilangkan jejak mereka selamanya dari muka bumi. Membiarkan para keluarga, kekasih, dan orang terdekat tersiksa dengan ketidakpastian.

Cerita tentang para keluarga yang menuntut kepastian setiap Kamis di depan istana negara lebih menyakitkan daripada membaca sosok-sosok berbadan besar yang seakan seluruh hidupnya didedikasikan untuk membuat daftar penyiksaan yang efektif. Penyangkalan orang terdekat tidak hanya berlangsung sebulan dua bulan sejak para aktivis dinyatakan hilang. Para keluarga dan kerabat dekat hidup dalam ketidaktahuan dan mau tidak mau menciptakan suaka di mana sosok tersayang mereka masih makan bersama di ruang tengah.

Bapak dan Ibu Biru Laut menciptakan ritual makan bersama setiap minggu dengan satu piring kosong yang tidak pernah disentuh di atas meja makan. Seusai makan, Bapak membersihkan kamarnya seakan anaknya yang hilang akan segera pulang dan menyelimuti dirinya yang kelelahan. 

Yang hilang menjadi katalis
Di setiap Kamis nyali berlapis

Yang ditinggal takkan pernah diam
Mempertanyakan kapan pulang.

-Hilang, Efek Rumah Kaca

Semua cerita ini adalah harga yang harus dibayar para aktivis untuk kebebasan kita hari in, yang membuat detik ini, tepat saat malam ini saya menulis tentang Orde Baru dan bisa pulang dengan selamat sampai kamar saya.

Mereka adalah pemikir dan penyair kehidupan yang tidak nyaman dalam ketidakadilan dan pemerintahan absolut. Pada masanya menjadi kritis adalah nasib yang miris. Menjadi kritis dengan keadaan berarti sebuah perjuangan yang membutuhkan nyali. Menjadi kritis, berarti siap mati. Dan mereka tidak takut mati.

Perjuangan mereka menyisakan luka dan ketidakadilan baru pada keluarga yang masih berjuang setiap Kamis, ikut menuntut keadilan. Keadilan untuk para pahlawan. Pahlawan yang tidak dikubur di makam taman pahlawan untuk dihormati. Pahlawan yang membayar harga kebebasan kita hari ini tidak mendapat angin segar dan penghormatan.

Biru Laut, sang tokoh fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata, harus rela tulang belulangnya berenang dan hancur bersama ikan-ikan setelah menunaikan tugasnya membeli kebebasan bagi kita hari ini. 

Mereka yang hilang, akan tetap hidup dan menuntut dari relung-relung kemanusiaan yang pernah meninggalkan mereka. Ketenangan samudera yang mungkin menelan mereka saat itu, menjadi saksi yang terus menghantui ketidakadilan. Dan semoga keempat penunggang kuda yang disebut dalam surat Goenawan Mohamad, pada akhirnya akan kalah dengan perjuangan mereka.

Mereka memang hilang, tapi tuntutannya terhadap ketidakadilan akan terus hidup dan berkobar bak api untuk menjaga kita semua.

***

Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan, dan yang keempat Kebencian. Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.
- Surat Goenawan Mohamad kepada dua anak Munir, Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati

1 comment:

gadispayungkuning said...

jikalau bukunya sebagus ini, aku mau membacanya!

Search