Featured Post

Tentang Pelayanan: Tak Cukup Menjadi Marta, Jadilah Maria di Dekat Kaki Tuhan

Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.   (Lukas 10:42) Menjadi Pelayan di Usia Muda Saya di...

1.13.2011

Sampai pada waktunya


"Kenapa setiap orang berlomba-lomba meramalkan hari kiamat?" tanya seseorang pada dirinya sendiri sore itu di sebuah kafe pinggir jalan.
Tertarik dengan pertanyaannya aku meneguk kopiku, diam-diam memperhatikannya. Ia lanjut membaca korannya. Mengertilah aku bahwa ia sedang mengomentari sebuah berita di dalam koran.

Dengan rasa penasaran tinggi yang menghinggapiku aku memberanikan diri mendekatinya. "Memang kapan kiamat?" Tanyaku. Wanita paruh baya itu menatapku dan tersenyum, "boleh aku duduk?" Ia hanya mengiyakan.

Ia melipat korannya dan menaruhnya di depan mejanya, ia tersenyum. Awalnya aku takut ia mengucapkan kata-kata kasar untuk mengusirku, namun tanpa disangka, ia menjawabku dengan pertanyaan, "Kalau kamu tahu bahwa kamu hanya punya waktu 6 bulan lagi sebelum mati, apa yang kamu lakukan?"

Aku memiringkan kepalaku dan menjawab semampuku, "Enam bulan? entahlah yang pasti aku akan menghabiskan waktuku dengan keluargaku, sejak aku bekerja waktu bicara kami hanya melalui uang." Ia mengangguk, aku melanjutkan lagi kata-kataku, "berhenti merokok, mungkin, karena pacarku membencinya, haha." Ia ikut tertawa.

"Aku hanya ingin tahu, apa menurutmu keuntungannya mengetahui kapan hari kiamat?" Lanjutnya mengulangi pertanyaan awal. "Entahlah, mungkin agar semua orang bersiap-siap." "Untuk?" "Ya kau tahu, siapa orang di dunia ini yang tidak mau masuk surga? atau siapa orang di dunia ini yang tidak takut akan kematian?"

"Untuk apa kita takut pada kematian? Bukankah tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya?" Ujarnya. Aku terpaksa mengangguk setuju lalu berkata lagi, "Justru karena itu, mungkin kita takut pada hal yang kita tidak tahu." Ia mengangguk setuju sambil meneguk tehnya yang tinggal setengah.

Ia menatap jalanan. Matanya menandakan ia sedang berpikir keras. Sambil membetulkan kacamatanya, ia berkata lagi, "Kenapa kamu hanya berubah ketika kamu tahu 6 bulan lagi kamu akan mati? Bukankah kebaikan itu seharusnya dilakukan bahkan sejak kita lahir." Aku tersentak mengingat jawabanku tadi. Aku memilih untuk diam tidak melanjutkan kata-kataku.

Entah apa yang dipikirikannya, yang pasti aku seperti melihat ratusan cahaya dalam kepalanya menandakan bahwa ia begitu peduli dengan hal ini. Akhirnya aku bertanya, " Apa yang membuatmu begitu tertarik dengan hal ini?"

"Bukan karena aku tertarik tapi karena aku tidak mengerti kenapa orang hanya akan berbuat baik karena sebuah ketakutan akan kematian, ketakutan akan sesuatu yang tidak kita tahu."

Aku menambahkan gula pada kopiku dan mengaduknya perlahan. Wanita itu, seperti menungguku meneguk kopi, ia berkata perlahan,

"Sewaktu aku kecil aku pernah mendengar cerita, ada seorang laki-laki yang memilih untuk meneguk racun yang akan memperpendek umurnya hanya karena ia tidak menyukai hidupnya, sampai ketika orang yang memberikan racun itu berkata, hanya 3 hari sisa waktunya, laki-laki itu memulai kehidupannya dengan sempurna. Syukurlah ia masih bisa bertahan karena ternyata racun itu hanya air putih."

Aku tersenyum menanggapi ceritanya dan mulai mengerti arah pembicaraannya.

"Aku rasa jika memang hanya kiamat yang menggerakanmu untuk berbuat baik, kenapa kau tidak menganggap setiap hari adalah kiamat? Apa perbedaannya 6 bulan atau 2 tahun lagi kiamat, kalau kau lakukan sekarang, apalagi yang kau takutkan?"

Aku mengangguk paham. Ia menghabiskan tehnya sambil menaruh uang di meja, ia tersenyum. "Jika kamu kristen atau katolik, bukankah kita berbuat baik sejak kitab kejadian? Buat apa kita menunggu kitab wahyu untuk meletakkan diri kita pada posisi terancam baru mau berbuat baik? Ada ataupun tidaknya surga dan neraka, jika orang-orang merasa kebaikan itu hal yang menyenangkan, maka seharusnya kebaikan dilakukan bukan karena rasa takut terhadap neraka."

"Dan kalau orang-orang ini masih berlomba menentukan kapan hari kiamat, buat apa aku tahu kapan hari kematianku jika setiap harinya aku telah bersiap dengan berbuat baik kepada semua orang. Dan sebaiknya lakukanlah sekarang apa yang ingin kau lakukan tadi."

Lalu ia merapikan koran dan tasnya, dan beranjak. "Salam sejahtera, kawan."
Aku mengangguk sambil mengucapkan sampai jumpa.

Aku meneguk kopi terakhirku sambil memandang ke jalanan. Hari ini aku baru saja menghargai hidupku. Terima kasih, Tuhan.

No comments:

Search